Langsung ke konten utama

Rethinking of Culture

 
Di dunia ini, tak seorang pun yang tak menghendaki dirinya beradab atau punya peradaban yang baik. Begitu halnya masyarakat, bangsa, atau negara apa dan manapun. Semua berlomba menjadi entitas yang beradab atau berperadaban. Ya, begitulah manusia dengan segala proses dan dinamika hidupnya.
Satu hal yang tak terpungkiri adalah bahwa dalam berlomba menjadi entitas yang beradab atau berperadaban, tak jarang menuai konflik dalam pelaksanaannya. Alih-alih mencapai apa yang dikehendaki secara bersama, yang ada adalah konflik dan pertentangan yang pada faktanya justru merusak. Atas nama kebebasan bertindak, yang satu berlaku tanpa menghiraukan kehendak yang lainnya. Begitupun yang lain, dan seterusnya. Di sinilah letak kendala yang harus kita maknai sebagai batu ujian. guna menghadirkan peradaban yang sama-sama kita kehendaki sebagai kehidupan yang baik.
Menghendaki peradaban yang baik, tentu mensyaratkan adanya proses yang baik. Bahwa tujuan yang baik tanpa proses pengupayaannya yang baik pula, maka sama halnya adalah nihil: kosong tak bermakna. Karenanya, tak ada jalan bagi kita untuk tidak merintis proses demikian itu. Proses di mana peradaban hanya dimungkinkan tercipta sebagaimana harusnya. Proses tersebut yang nanti akan kita sebut sebagai rethinking.
Pertanyaannya, apa yang harus kita rethinking atau pikirkan kembali hari ini untuk masa depan? Ada satu adagium yang menyatakan bahwa kepercayaan (keyakinan) melahirkan ideologi; ideologi melahirkan tata nilai, seperti tradisi, agama, dan sistem kepercayaan lainnya; tata nilai yang kemudian menjadi pedoman kebudayaan; dan kebudayaan adalah proses atau cikal bakalnya sebuah peradaban.
Dari adagium di atas, nampak bahwa ruang kebudayaan adalah gawang terakhir dari peradaban manusia. Tanpa menafikan proses-proses yang mendahuluinya, gawang terakhir inilah yang harus kita angkat sebagai tema persoalan mendasar. Karena memang, hanya kebudayaan yang memungkinkan manusia berpikir secara dinamis, di mana proses-proses yang mendahuluinya adalah abstrak tak teraba.
Menilik realitas dewasa ini, ruang kebudayaan acapkali dipersepsi secara sempit. Pemaknaan atasnya kerapkali dibangun secara banal. Nilai kebudayaan ditekan dan disamakan dengan kreatifitas manusia, seperti kesenian (umumnya tari-tarian daerah/lokal). Tentu saja, eksistensi kebudayaan sebagai proses, karena persepsi dan pemaknaan yang demikian, justru nampak memperlambat atau bahkan malah menggagalkan lahirnya peradaban yang diidamkan sebagai tujuannya. Dengan demikian, untuk apa lagi kita berusaha merintis kebudayaan sebagai proses pencipta sebuah peradaban jika pada akhirnya hanya akan memandulkan peradaban itu sendiri?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendidikan PraKolonial

Di era sekarang ini banyak sekali anak muda yang kurang wawasan, kurang pengetahuan, sebenarnya mereka tau apa sih, ketika di tanya pendidikan prakolonial itu apa sih? Si Racap aja gak tau hadehhh, biar kita banyak tau mari kita membaca artikel yang satu ini, ingat ya makin banyak tau makin banyak deh wawasannya... Pengertian Pendidikan Prakolonial    Pendidikan Prakolonial di mengerti sebagai sebuah penyelenggaraan pendidikan yang di batasi oleh ruang waktu tertentu. Pembatasan ruang mengacu pada batas-batas politik yang terdapat di geografis tertentu sedangkan batasan waktu mengacu pada sebuah masa ketika praktik penjajahan belum dimulai. Geografis itu merujuk pada wilayah Nusantara sedangkan masa yang di maksud mengacu pada abad ke -17, yakni sebelum jan Peterson Coen melemparkan jangkar di pantai sunda kelapa.    Pada abad ini akan dibahas tentang semangat pendisikan pada masa pra-kolonial dan sisa-sisanya pada masa sekarang. Masyarakat prakolonial memiliki model pemerinntahan

Mahzab Fenomenologi Max Weber

Fenomenologi       Fenomenologi adalah satu aliran filsafat modern yang sangat berpengaruh. Salah satu tokoh utamanya adalah Edmund Husserl (1859-1935) dari Jerman. Pada prinsipnya metode fenomenologi yang dibangun oleh Husserl ingin mencapai “hakikat segala sesuatu”. Maksudnya agar mencapai “pengertian yang sebenarnya” atau “hal yang sebenarnya” yang menerobos semua gejala yang tampak. Usaha untuk mencapai hakikat segala sesuatu adalah reduksi atau penyaringan. Husserl mengemukakan tiga macam reduksi berikut ini :    1. Reduksi fenomenologis, kita harus menyaring pengalaman-pengalaman kita, dengan maksud supaya mendapatkan fenomena dalam wujud yang semurni-murninya 2. Reduksi eidetis, penyaringan atau penetapan dalam tanda kurung segala hal yang bukan eidus atau inti sari atau hakekat gejala atau fenomena. Jadi hasil reduksi kedua ialah “penilikan hakikat”. Inilah pengertian yang sejati.    3. Reduksi transendental, yang harus ditempatkan diantara tanda kurung dahulu ialah eksiste

Perbedaan Filsafat Barat dan Timur

Perbedaan Antara Filsafat Barat dan Filsafat Timur  I. Filsafat Barat 1. Filsafat Barat adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. 2. Filsafat berkembang dari tradisi falsafi orang Yunani kuno. 3. Tokoh utama filsafat Barat  antara lain Plato, Thomas Aquinas, Réne Descartes, Immanuel Kant, Georg Hegel, Arthur Schopenhauer, Karl Heinrich Marx, Friedrich Nietzsche, dan Jean-Paul Sartre. 4. Terdapat pembidangan dalam filsafat yang menyangkut tema tertentu. a. Ontologi membahas tentang masalah "keberadaan" (eksistensi) sesuatu yang dapat dilihat dan dibedakan secara empiris, misalnya tentang keberadaan alam semesta, makhluk hidup, atau tata surya. b. Epistemologi mengkaji tentang pengetahuan (episteme secara harafiah berarti “pengetahuan”). Epistemologi membahas berbagai hal tentang pengetahuan seperti batas, sumber, serta kebenaran suatu pengetahuan. Dari epistemologi inilah lahir berba