Langsung ke konten utama

Kearifan Lokal Rumah Limas Terjemah Kecerdasan & Strategi Pola Hidup Masyarakat Palembang

Kearifan lokal merupakan warisan budaya yang secara turun temurun terpelihara hingga saat ini. Budaya lokal ini biasanya tercipta melalui ruang proses panjang yang evolutif dengan berbagai tranfer keilmuan, baik melalui tutur dan praktik langsung secara trans-generasi.
Warisan budaya ini dapat dijumpai berupa bangunan fisik dan tradisi. Biasanya kearifan lokal dapat diterjemahkan sebagai satu kecerdasan dan strategi kehidupan setempat dalam menjawab berbagai aktivitas masyarakat local, baik adat, agama, ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi, bahasa, dan komunikasi serta struktur sosial.
Melalui bekal akal, hawa nafsu dan hati nurani, secara kodrati manusia telah bersikap responsif terhadap lingkungannya. Karya seni, adat budaya dan kepercayaan merupakan buah proses dari interaksi manuisia terhadap lingkungan kehidupannya. Keingintahuan manusia membuat dirinya kagum, hormat bahkan tunduk lalu memujanya.
Upaya melestarikan aneka kearifan lokal ini memiliki corak yang berbeda. Di perkotaan misalnya, masyarakat setempat lebih mengedepankan sebab-akibat secara nyata. Sedangkan pada daerah pedalaman, dilakukan pednekatan yang lebih menguatkan revitalisasi tradisi-tradisi asli daerah setempat.
Rumah Limas
Sumatera Selatan misalnya, lingkungan alamnya disebut “marga” yang merupakan timpat tinggal, mencari nafkah dan dikebumikannya para anggota persekutuannya yang meninggal. Atas dasar hubungan magis religius, semua itu mempunyai keterkaitan antara manusia dan sistem kepercayaan yang melebur jadi satu. Dengan kata lain: menyusun satu mata rantai gaib yang tak terpisahkan; melahirkan berbagai tata laku dan simbol-simbol, salah satunya tercermin dalam arsitektur rumah adat.
Menurut Yudohusodo (1991), rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar bagi manusia di samping sandang dan pangan. Oleh sebab itu, rumah punya fungsi penting, tak hanya sebagai sarana hidup semata, tapi juga suatu proses bermukim manusia dalam mencipta ruang hidup di lingkungan sekitar.
Seperti halnya dengan daerah lain, Sumatera Selatan juga punya karya seni arsitektur yang berbentuk rumah hunian masyarakat adat Palembang, yakni Rumah Limas, Rumah Adat Tradisional Sumatera Selatan. Bentuk rumahnya sangat khas, sesuai dengan makna kata “limas” itu sendiri.
Secara bahasa, “limas” terdiri dari ada dua suku kata, yakni “lima” dan “emas”. Seperti terlihat pada bentuk atapnya, bentuknya menyerupai piramida terpenggal (limasan). Bentuknya bertingkat-tingkat (kijing). Dindingnya berupa kayu merawan yang berbentuk papan, dibangun di atas tiang-tiang atau cagak. Tentu Rumah Limas yang berbentuk panggung ini sangat cocok, apalagi kondisi alam daerah Palembang yang memang sebagian besar termasuk kawasan perairan.
Biasanya, jenis Rumah Limas didirikan di pinggir sungai dan menghadap ke darat. Dilengkapi ruang bengkilas untuk digunakan saat pemilik menggelar hajatan, kenduri atau pertemuan-pertemuan penting. Adapun fungsi utamanya, yakni sebagai tempat hunian yang menumbuhkan proses pembentukan watak dan kepribadian penghuninya.
Kegunaan Ruang dan Filosofinya
Pendirian Rumah Limas berbentuk panggung merfleksikan beragam nilai yang hidup dalam masyarakat Palembang, di antaranya nilai budaya, religious, dan sosial. Nilai-nilai ini merupakan perwujudan kearifan lokal masyarakat. Sebagai pengetahuan yang didapat dari membaca dan memahami fenomena alam dan sosial di daerah tersebut.
Nilai budaya Rumah Limas dapat dilihat pada arsitekturnya yang berbentuk rumah panggung dan terbuat dari kayu. Semua terdiri dari bentuk ruang persegi dan panjang dengan arah rumah menghadap ke timur dan barat, atau dalam falsafah Palembang disebut menghadap ke arah “mato ari eedoop” dan “mato ari mati”.
“Mato ari eedoop” berarti “matahari terbit” diartikan sebagai awal mula kehidupan manusia. Sementara “mato ari mati” diterjemahkan secara leksikal, yakni matahari tenggelam, juga bermakna sebagai tanda dari akhir kehidupan atau kematian.
Jika dilihat dari tata letak ruang penandaan arah tersebut, menunjukkan adanya pembagian bangunan depan dan belakang. Hal ini dimaksudkan ebagai pengingat siklus kehidupan manusia dari lahir hingga mati.
Rumah Limas Palembang dibangun di atas tiang-tiang yang terbuat dari jenis kayu unglen berjumlah 32 buah atau kelipatannya. Ia berbentuk rumah panggung yang bagian kolongnya merupakan ruang aktif untuk kegiatan sehari-hari. Ketinggiannya sendiri dapat mencapai 3 meter. Terdapat dua tangga kayu dari sebelah kiri dan kanan di mana bagian teras biasanya dikelilingi pagar kayu berjeruji yang disebut tenggalung—bermakna filosofis untuk menahan supaya anak perempuan tidak keluar rumah.
Di bagian lantainya, dibuat bertingkat-tingkat atau biasa disebut kekijing dengan menggunakan kayu jenis tembesu yang berbentuk papan (persegi panjang), disusun secara horizontal. Sementara dindingnya terbuat dari kayu jenis merawan yang berbentuk papan, dengan cara penyusunan dan besaran yang sama dengan papan pada lantai. Pada bangunan depan, terdapat jogan, ruang kerja, dan amben (balai/tempat musyawarah) yang terletak lebih tinggi dari lantai ruangan. Ruang itu merupakan pusat rumah yang digunakan sebagai ruang interaksi sosial, dekorasi, serta untuk menggelar hajatan, upacara adat, kenduri atau pertemuan-pertemuan penting lainnya. Sebagai pembatas ruang terdapat lemari yang dihiasi sebagai showletlege.
Pangkeng Penganten (bilik tidur) terdapat dinding rumah, baik di kanan maupun di kiri. Untuk memasuki Pangkeng ini, harus melalui dampar (kotak) yang terletak di pintu sebagai tempat penyimpanan peralatan rumah tangga. Pangkeng ini terdiri dari ruang Kepala Keluarga, Pangkeng Kaputren (kamar anak perempuan), Pangkeng Keputran (kamar anak laki-laki), Ruang Keluarga, dan Ruang Anak Menantu. Sementara pada bagian belakang terdiri dari Dapur atau pawon, Ruang Pelimpahan, dan Ruang Hias/Toilet.
Pembagian ruang secara fisik berfungsi sebagai batasan aktivitas yang berlangsung di rumah berdasar tingkat keprivasiannya. Bentuknya yang luas merupakan gambaran kondisi sosial budaya masyarakat Palembang yang menjunjung tinggi kebersamaan seperti gotong-royong. Dan secara sosial, menjunjung tinggi norma-norma adat yang berlaku di masyarakat.
Kesimpulan
Dengan kondisi tanah yang basah dan lingkungan yang panas, maka desain rumah berbentuk panggung merupakan suatu pemecahan yang tepat. Lantai yang tidak berada langsung di atas tanah memungkinkan bangunan tidak akan terendam ketika hujan atau air pasang sedang naik. Pemilihan lokasi di pinggir sungai nampaknya dipilih berdasarkan alasan kebersihan.
Alasan kebersihan ini pun juga dapat dilihat dari peletakan gentong air di sebelah tangga masuk rumah. Arah rumah yang diusahakan menghadap ke arah timur dengan jumlah ventilasi udara yang cukup banyak berkaitan dengan pertimbangan kesehatan, yaitu agar rumah mendapatkan sinar matahari yang cukup pada pagi hari dan sirkulasi udara lancer.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendidikan PraKolonial

Di era sekarang ini banyak sekali anak muda yang kurang wawasan, kurang pengetahuan, sebenarnya mereka tau apa sih, ketika di tanya pendidikan prakolonial itu apa sih? Si Racap aja gak tau hadehhh, biar kita banyak tau mari kita membaca artikel yang satu ini, ingat ya makin banyak tau makin banyak deh wawasannya... Pengertian Pendidikan Prakolonial    Pendidikan Prakolonial di mengerti sebagai sebuah penyelenggaraan pendidikan yang di batasi oleh ruang waktu tertentu. Pembatasan ruang mengacu pada batas-batas politik yang terdapat di geografis tertentu sedangkan batasan waktu mengacu pada sebuah masa ketika praktik penjajahan belum dimulai. Geografis itu merujuk pada wilayah Nusantara sedangkan masa yang di maksud mengacu pada abad ke -17, yakni sebelum jan Peterson Coen melemparkan jangkar di pantai sunda kelapa.    Pada abad ini akan dibahas tentang semangat pendisikan pada masa pra-kolonial dan sisa-sisanya pada masa sekarang. Masyarakat prakolonial memiliki model pemerinntahan

Mahzab Fenomenologi Max Weber

Fenomenologi       Fenomenologi adalah satu aliran filsafat modern yang sangat berpengaruh. Salah satu tokoh utamanya adalah Edmund Husserl (1859-1935) dari Jerman. Pada prinsipnya metode fenomenologi yang dibangun oleh Husserl ingin mencapai “hakikat segala sesuatu”. Maksudnya agar mencapai “pengertian yang sebenarnya” atau “hal yang sebenarnya” yang menerobos semua gejala yang tampak. Usaha untuk mencapai hakikat segala sesuatu adalah reduksi atau penyaringan. Husserl mengemukakan tiga macam reduksi berikut ini :    1. Reduksi fenomenologis, kita harus menyaring pengalaman-pengalaman kita, dengan maksud supaya mendapatkan fenomena dalam wujud yang semurni-murninya 2. Reduksi eidetis, penyaringan atau penetapan dalam tanda kurung segala hal yang bukan eidus atau inti sari atau hakekat gejala atau fenomena. Jadi hasil reduksi kedua ialah “penilikan hakikat”. Inilah pengertian yang sejati.    3. Reduksi transendental, yang harus ditempatkan diantara tanda kurung dahulu ialah eksiste

Perbedaan Filsafat Barat dan Timur

Perbedaan Antara Filsafat Barat dan Filsafat Timur  I. Filsafat Barat 1. Filsafat Barat adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. 2. Filsafat berkembang dari tradisi falsafi orang Yunani kuno. 3. Tokoh utama filsafat Barat  antara lain Plato, Thomas Aquinas, RĂ©ne Descartes, Immanuel Kant, Georg Hegel, Arthur Schopenhauer, Karl Heinrich Marx, Friedrich Nietzsche, dan Jean-Paul Sartre. 4. Terdapat pembidangan dalam filsafat yang menyangkut tema tertentu. a. Ontologi membahas tentang masalah "keberadaan" (eksistensi) sesuatu yang dapat dilihat dan dibedakan secara empiris, misalnya tentang keberadaan alam semesta, makhluk hidup, atau tata surya. b. Epistemologi mengkaji tentang pengetahuan (episteme secara harafiah berarti “pengetahuan”). Epistemologi membahas berbagai hal tentang pengetahuan seperti batas, sumber, serta kebenaran suatu pengetahuan. Dari epistemologi inilah lahir berba