Langsung ke konten utama

Multikulturalisme & Tantangan kebangsaan

Indonesia hari ini mulai merangsek pelan turun jauh dari kata toleran. Semula tata pergaulan masyarakat yang kondusif dengan keberagaman dan sepakat bersatu demi Indonesia, kini berada dalam keadaan memperihatinkan. Banyak golongan yang mengatas-namakan dirinya paling benar lalu memvonis lainnya salah. Persepsi ini timbul dari buah pemikiran lama yang memandang agama hanya sebagai ritual peribadatan sehingga perlu diwajibkan kesamaan cara berfikir dan gerak dalam beribadah pada Tuhannya.
Mereka lupa bahwa persoalan agama bukan hanya tentang ritual peribadatan, bukan hanya tentang relasi hamba dengan Tuhan. Namun jauh dari itu, ada perkara lain yang tak kalah penting dan telah dicontohkan oleh nabi-nabi terdahulu tentang tata pergaulan antar manusia. Hari ini masyarakat multikultural Indonesia dihadapkan pada peristiwa di mana naluri ketuhanan dan altruistis sudah dikebiri keberadaannya. Tidak heran bila masyarakat kini dihadapkan pada kondisi yang lebih mudah berkonflik dari pada bersahabat, lebih mudah curiga ketimbang saling percaya, lebih mudah menyenggol dari pada berjabat tangan, bahkan lebih mudah mengambil ketimbang memberi.
Fenomena ini menandakan bahwa Indonesia tengah terperosok pada masa penuhanan materi. Indoneisa yang dikenal gemah ripah loh jinawi tata tentrem kartaraharja, kini terasa panas dan tidak mampu menopang hajat hidup warganya. Agama sebagai tiang iman dan akhlak sudah mulai ditanggalkan substansinya. Indonesia telah terjajah rayuan ideologi dan produk asing yang secara frontal mengikis moralitas dan mentalitas warga sekaligus perlahan membunuh produk asli Indonesia. Cengkeraman ideologi ini telah menuntut seseorang menjadi individualis, mencari kebahagian sebesar-besarnya seorang diri. Akibatnya terjadi ‘pemiskinan’ yang luar biasa pada segala sendi kehidupan dan kemudian berdampak pada hilangnya rasa bahagia bangsa Indonesia secara umum.
Potensi Konflik
Bangsa Indonesia saat ini sedang menggalami degradasi yang sungguh memperihatinkan. Merosotnya solidaritas sosial berdampak pada tingginya potensi konflik yang menghambat upaya kerukunan umat. Begitu susahnya saat ini mencari kedamaian dan kebahgiaan karena begitu sering kecemburuan sosial tumbuh di tengah pluralitas. Ditambah lagi dekadensi moral pejabat bangsa yang menjadi kompleksitas beban yang ditanggung oleh generasi penerus untuk dibenahi agar tertata dan menjadi baik. Rupanya mencari kenyamanan diri dan mengabaikan kenyamanan orang lain sudah merasuki pejabat yang kemudian merambat kepada masyarakat pada umumnya sehingga benturan konflik terjadi di internal bangsa Indonesia itu sendiri.
Sepakat dengan J.J. Rousoue yang mengatakan bahwa pada hakikatnya manusia dilahirkan dalam keadaan tabu, lalu lingkunganlah yang mempengaruhinya. Benturan konflik ini tentu tidak begitu saja terjadi. Ada ragam fenomena yang melatarbelakanginya. Saat di masa lalu dominasi gotong-royong, tenggang rasa dan toleransi begitu menonjol karena mengedepankan kepentingan kesatuan, namun hari ini malah sebaliknya. Banyak pihak tumbuh dan merasa sebagai golongan yang paling benar lalu berupaya memecah kerukunan, gotong-royong dan tenggang rasa yang sejak dahulu telah nyaman menemukan tempatnya di masyarakat. Kaca sejarah masa lalu bangsa ini belum tuntas dicermati dan dihayati oleh oknum yang merasa golongannya paling benar. Ada yang merasa golongannya terancam hilang, dan ada pula yang ingin menyingkirkan golongan yang lain.
Fenomena sosial ini hakikatnya ramai bergulir pasca terbukanya kran demokrasi di era reformasi yang tak tuntas itu. Saat beberapa pihak sibuk mencari formulasi menyatukan keberagaman, justru di pihak lain menuai noda persatuan. Pakar ilmuan sosial (Coser, 1956; Gurr, 2007; Varshner, 2010) menengarai bahwa konflik antar umat beragama umumnya berkisar pada wilayah ajaran, sosial dan kemanusian. Tiga wilayah ini berdiri sendiri atau saling berkaitan. Di wilayah ajaran ini akan menjadi konflik tersindiri bila doktrin, dogma dan sejarah keagamaan tertentu ditafsirkan secara ekstrem untuk membangun kejayaan golongan dan menceraikan kelompok lainnya.
Ancaman Radikalisme
Semakin maraknya penyebaran paham radikal yang memecah persatuan bangsa ini telah menyadarkan penulis bahwa satu agenda besar yang dihadapi oleh bangsa dan negara ini adalah bagaimana menangkal radikalisme dan tindakan intoleransi lainnya di ruang publik. Ektremisme ini telah menuai di ruang publik, mengingat terbukanya ruang publik dan segala kemudahan akses lainnya telah dimanfaatkan secara sepihak oleh kelompok-kelompok yang menyebarkan paham-paham yang tak rahamatan lil’aalamiin.
Besarnya ancaman radikalisme yang menyebar di ruang publik ini semakin melengkapi cerita bagaimana konflik bernuansa agama semakin menguat. Agama secara umum berkembang menjadi peneguhan identitas diri sehingga berpotensi memacu pembedaan kolektif dalam masyarakat. Bila tidak dikelola dengan baik, agama di wilayah sosial akan sangat mudah menyulut terjadinya konflik horizontal.
Dalam hal ini, penting kiranya mengintegrasikan kembali semangat nasionalisme ke ruang publik. Sebab aspek keberhasilan yang paling krusial melawan ekstremisme adalah meninjau dan menyusun kembali strategi politik anti terorisme dan radikalisme dengan pendekatan yang mengedepankan dialog dan ide. Model dialogis ini akan membangun ide dan gagasan yang tepat bagi masyarakat di tengah terbukanya ruang informasi publik. Melawan radikalisme hakekatnya adalah perang ide dan perang melawan gagasan.
Tantangan Kebangsaan
Melihat segala gejala kebangsaan ini menandakan bahwa potret problematika kenegaraan semakin menguat. Wawasan kebangsaan dan keinginan untuk tetap menjaga keutuhan Indonesia, sebagaimana amanat pendiri bangsa, kian memudar. Menurut hemat penulis, beberapa faktor yang tidak disadari telah membentuk gejala ini, di antaranya adalah kurangnya arena permainan anak yang telah menjadi perekat solidaritas sejak dini. Merosotnya solidaritas sosial telah terjadi saat usia perkembangan anak karena kita terlalu mendambakan perkembangan kapitalistik. Sehingga tidak heran bila kehidupan kita dihuni oleh kebiasan-kebiasaan yang individualis. Kemajuan teknologi telah membuat kita terlena hingga lupa pentingnya relasi perjumpaan personal. Keringnya perjumpaan membuat pudar kerekatan sosial, padahal dalam pranata sosial, ia adalah faktor penting kedekatan antar personal.
Hal lain adalah hilangnya kontrol media massa. Media hari ini telah bergerak bebas dan memamerkan mimpi-mimpi. Media cenderung tak lagi informative-positif melainkan materialistis karena identik dengan pameran kekayaan yang membuat kecemburuan sosial. Disparitas ekonomi antara si kaya dan si miskin makin tajam, karena masyarakat dijadikan sebagai tawanan hiburan. Akibatnya, pemimpin agama tidak lagi dijadikan panutan dalam berkehidupan sebab ia telah tergeser oleh figur-figur publik.
Faktor terakhir adalah kurangya keteladanan pemimpin yang mengakibatkan ketidak-patuhan umatnya. Dalam masyarakat parlementis, peran pemimpin sangat berpengaruh. Kesibukan pemimpin agama telah mengurangi waktu mengasah spiritualitas pribadinya. Sehingga pola pembinaan terhadap umatnya cenderung berhenti pada upacara rutin. Akibatnya, masyarakat hari ini lebih sering mengkotakkan konflik masa lalu dari pada memberdayakan kerukunan beragama.
Modalitas Sejarah
Menurut Suhartono, dosen Ilmu Budaya UGM, pada dasarnya dalam perjalanan sejarah Indonesia memberi bukti bahwa multikulturalisme terus berkembang hingga menyangkut persoalan keutuhan bangsa. Multikulturalisme ini sebenarnya mengacu pada penyerasian warna-warni etno-kultural pada suatu nasion sekaligus memiliki kandungan kultural-spiritual yang sudah sejak zaman yunani kuno berlaku.
Namun kini budaya toleransi sudah tidak lagi saling dipahami sebagai pondasi hidup di tengah pluralnya masyarakat. Semangat gotong-royong yang dahulu menjadi pondasi pembangunan bangsa yang multikultural ini telah tergerus oleh budaya individualistik yang merebak sebab arogansi dan egoisme yang selalu dikedepankan oleh masyarakat umumnya. Keberagaman budaya, etnis dan ras di Indonesia yang seharusnya menjadi wawasan kebangsaan masa kini berubah menjadi jenis perseteruan baru.
Kecenderungan mengkiblatkan budaya asing yang individualistik dari pada budaya lokal yang dibangun atas kebersamaan untuk bersatu saling memahami, membuat masyarakat tidak lagi dialogis. Sejatinya kearifan pranata sosial dan budaya lokal adalah solusi ketahanan nasional. Sebab jati diri dan nilai-nilai luhur budaya sendiri adalah sumber kekuatan pembangunan sebuah bangsa. Karena Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa, adat istiadat serta beragam budaya Nusantara yang selalu menjaga keseimbangan interaksi kehidupan masyarakatnya.
Jati diri dan karakter khas ini telah terkandung jelas dalam Pancasila dan digariskan oleh Konstitusi. Prof. Dr. Farouk Muhammad secara spesifik menyebutkan bahwa sila pertama mengidentifikasi bahwa Indonesia adalah bangsa religius. Menurut Farouk, apapun agamanya, masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang relegius. Sila kedua menunjukan karakter bangsa ini adalah menjadi bagian kemanusiaan yang universal, yang menghormati hak-hak kemanusiaan yang beradab.
Kemudian sila ketiga menegaskan bahwa walaupun Indonesia mempunyai keberagaman, namun dalam setiap keberagaman tersebut terdapat tenunan dan jalinan yang saling mempertemukan satu dengan yang lainnya. Artinya, segala perbedaan yang mengandung benang merah yang sama yang dapat menyatukan. Sila keempat dengan baik menggambarkan ciri khas demokrasi Indonesia. Di seluruh Nusantara ini memiliki tradisi musyawarah dalam segala urusan. Lanjut Farouk, empat unsur ini pada akhirnya kembali dipersatukan dengan cita-cita dan impian untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendidikan PraKolonial

Di era sekarang ini banyak sekali anak muda yang kurang wawasan, kurang pengetahuan, sebenarnya mereka tau apa sih, ketika di tanya pendidikan prakolonial itu apa sih? Si Racap aja gak tau hadehhh, biar kita banyak tau mari kita membaca artikel yang satu ini, ingat ya makin banyak tau makin banyak deh wawasannya... Pengertian Pendidikan Prakolonial    Pendidikan Prakolonial di mengerti sebagai sebuah penyelenggaraan pendidikan yang di batasi oleh ruang waktu tertentu. Pembatasan ruang mengacu pada batas-batas politik yang terdapat di geografis tertentu sedangkan batasan waktu mengacu pada sebuah masa ketika praktik penjajahan belum dimulai. Geografis itu merujuk pada wilayah Nusantara sedangkan masa yang di maksud mengacu pada abad ke -17, yakni sebelum jan Peterson Coen melemparkan jangkar di pantai sunda kelapa.    Pada abad ini akan dibahas tentang semangat pendisikan pada masa pra-kolonial dan sisa-sisanya pada masa sekarang. Masyarakat prakolonial memiliki model pemerinntahan

Mahzab Fenomenologi Max Weber

Fenomenologi       Fenomenologi adalah satu aliran filsafat modern yang sangat berpengaruh. Salah satu tokoh utamanya adalah Edmund Husserl (1859-1935) dari Jerman. Pada prinsipnya metode fenomenologi yang dibangun oleh Husserl ingin mencapai “hakikat segala sesuatu”. Maksudnya agar mencapai “pengertian yang sebenarnya” atau “hal yang sebenarnya” yang menerobos semua gejala yang tampak. Usaha untuk mencapai hakikat segala sesuatu adalah reduksi atau penyaringan. Husserl mengemukakan tiga macam reduksi berikut ini :    1. Reduksi fenomenologis, kita harus menyaring pengalaman-pengalaman kita, dengan maksud supaya mendapatkan fenomena dalam wujud yang semurni-murninya 2. Reduksi eidetis, penyaringan atau penetapan dalam tanda kurung segala hal yang bukan eidus atau inti sari atau hakekat gejala atau fenomena. Jadi hasil reduksi kedua ialah “penilikan hakikat”. Inilah pengertian yang sejati.    3. Reduksi transendental, yang harus ditempatkan diantara tanda kurung dahulu ialah eksiste

Perbedaan Filsafat Barat dan Timur

Perbedaan Antara Filsafat Barat dan Filsafat Timur  I. Filsafat Barat 1. Filsafat Barat adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. 2. Filsafat berkembang dari tradisi falsafi orang Yunani kuno. 3. Tokoh utama filsafat Barat  antara lain Plato, Thomas Aquinas, RĂ©ne Descartes, Immanuel Kant, Georg Hegel, Arthur Schopenhauer, Karl Heinrich Marx, Friedrich Nietzsche, dan Jean-Paul Sartre. 4. Terdapat pembidangan dalam filsafat yang menyangkut tema tertentu. a. Ontologi membahas tentang masalah "keberadaan" (eksistensi) sesuatu yang dapat dilihat dan dibedakan secara empiris, misalnya tentang keberadaan alam semesta, makhluk hidup, atau tata surya. b. Epistemologi mengkaji tentang pengetahuan (episteme secara harafiah berarti “pengetahuan”). Epistemologi membahas berbagai hal tentang pengetahuan seperti batas, sumber, serta kebenaran suatu pengetahuan. Dari epistemologi inilah lahir berba