Langsung ke konten utama

Paulo Freire Pendidikan

Pendidikan bertujuan sebagai gerakan penyadaran. Ia menyadarkan manusia pada posisinya sebagai subjek atas realitas. Ia menyadarkan manusia tentang peran dan keharusannya merespon ruang (dunia) di mana mereka hidup dan saling menghidupi di dalamnya. Memang, antara manusia dengan dunia(nya) senantiasa harus terjalin pola hubungan yang bijak. Manusia tak mampu hidup apalagi saling menghidupi tanpa adanya suguhan nikmat dari dunia. Begitupun sebaliknya, dunia tanpa manusia ibarat ruang hampa yang tak bernilai lagi nihil.
Mengingat hal tersebut, maka relasi manusia dengan dunia harus terus beriring secara harmonis. Menentukan posisi di antara keduanya adalah hal utama yang harus dijejali terlebih dahulu. Pada titik inilah pendidikan berfungsi. Dan pada titik ini pula seorang Paulo Freire berdiri.
Sebagai seorang filsuf sekaligus pendidik di kalangan kaum tertindas (rakyat kecil), Freire mewartakan posisi ideal seorang manusia sebagai subjek atas realitas (dunia). Tetapi berbeda dengan Rene Descartes tentu saja, meski sebagai subjek, relasi atau pola hubungan di antara keduanya (manusia dan dunia/realitas) berada dalam dimensi yang dialogis lagi transformatif. Hal ini pulalah yang harus berlaku di antara sesama manusia.
Bahwa pendidikan bukan hal yang sekadar diberikan melainkan digali. Pendidikan harus bersumber di antara refleksi dan tindakan. Inilah yang oleh Freire sebut sebagai praksis di mana tujuannya mengarah kepada penyadaran dan berhilir kepada pembebasan dan humanisasi.
Ya, subtansi gagasan pendidikan Freire terletak pada pandangannya tentang manusia dan dunianya. Relasi keduanya ini kemudian ditransformasikan ke dalam model pendidikan yang ditawarkannya, yakni pendidikan yang membebaskan.
Guna memahami gagasan Freire secara utuh, apalagi menyangkut pola hubungan manusia dengan dunianya, tentulah yang patut dipahami terlebih dahulu adalah filsafat pendidikannya. Bahwa gagasan Freire, meski diakuinya sendiri sebagai akumulasi pendahulunya seperti Sartre, Althusser, Martin Luther, dan sebagainya, tetap mengesankan bahwa Freire menampilkannya secara unik dan membaharu. Dan melalui aksi dan penerapannya dalam sektor yang lebih luas dan dikuasainya, tak salah ketika Freire digadang sebagai mahaguru di bidang filsafat pendidikan.
Conscientizacao: Sebuah Tujuan Pendidikan
Melalui gagasan intelektualnya tentang “pendidikan kaum tertindas”, Paulo Freire berusaha membongkar kemapanan realitas sekaligus “kebudayan bisu” yang telah lama melanda umat manusia, terutama lewat jalur pendidikan.
Bagi Freire, seperti dapat kita baca dari salah satu karya termasyurnya berjudul Pendidikan Kaum Tertindas, pendidikan senantiasa harus diarahkan sebagai pembuka mata (peserta didik) guna menyadari realitas lingkungan sekitarnya, termasuk realitas ketertindasan yang dialaminya. Hal ini yang kemudian akan mendorong mereka untuk bertindak melakukan transformasi sosial—sebuah gerakan yang langsung akan merobek tatanan mapan yang sudah lama disuguhkan dalam nuansanya yang serba jadul (dehumanisasi). Upaya inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan “conscientizacao”.
Sebagai tujuan pendidikan, tak keliru jika proyek penyadaran menjadi inti dari pendidikan seorang Paulo Freire. Filsuf sekaligus pendidik berkebangsaan Brazil ini, dalam perjalanan karir dan intelektualnya, senantiasa mewajah kembali pendidikan melalui gagasan conscientizacao—sebuah proses kemenjadian secara utuh sekaligus menjadi inti dari proses pembebasan manusia.
Secara prinsip, conscientizacao berupaya membongkar apa yang oleh Freire sebut sebagai “kebudayaan bisu”. Seperti dalam pandangan Marx, “kebudayaan bisu” adalah konteks di mana manusia tidak sadar atas fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Karena ketaksadarannya atau kesadaran palsu yang dipatrikan pada dirinya-lah maka penindas akan semakin leluasa menindas mereka yang tak sadar bahwa dirinya ditindas secara tidak sadar pula. Dan untuk itulah Freire hadir. Ia mendemonstrasikan agar manusia, terutama kaum tertindas, mampu menguasai realitas hidupnya melalui penguasaan bahasa. Bahwa dengan menguasai bahasa, berarti kita mempunyai kesadaran kritis dalam mengungkap realitas dalam keragaman bentuk dan modelnya.
Tiga Kesadaran Manusia dan yang Terdistorsi
Membaca jauh apa yang hendak dituju Freire dalam proyek conscientizacao-nya, Freire berusaha menghadirkan manusia-manusia yang berkesadaran kritis. Manusia-manusia yang merdeka, otonom, bebas dan saling membebaskan satu sama lainnya. Dan ini hanya akan terwujud di mana pendidikan diarahkan secara utama sebagai sebuah proses penyadaran manusia.
Dalam mendeskripsikan conscientizacao sebagai proses perkembangan, Freire membaginya menjadi tiga fase: kesadaran magis, naïf dan kritis. Setiap fase dibagi lagi menjadi tigas aspek, yakni penamaan, berpikir dan aksi. Hal ini bertujuan guna mendapatkan penjelasan tentang pemahaman tiap individu dalam setiap fase perkembangan conscientizacao.
Kesadaran magis ditandai dengan sikap menerima dan melarikan diri dari kenyataan yang brutal dan penindasan yang kejam. Kesadaran ini dicirikan dengan sikap bungkam; tanggapan-tanggapan yang kompleks; hubungan sebab-akibat yang sederhana; dan tidak adanya kesalahan.
Orang-orang yang masih dalam tingkat kesadaran magis ini terperangkap dalam “mitos inferioritas alamiah”. Mereka hanya mampu mengetahui bahwa mereka melakukan sesuatu, tetapi tidak mampu mengetahui cara untuk mengubah tindakan tersebut. Bukannya melawan atau mengubah realitas di mana mereka hidup, mereka justru menyesuaikan diri dengan realitas yang ada.
Kesadaran magis dicirikan dengan fatalisme, yang menyebabkan manusia membisu, menceburkan diri ke lembah kemustahilan untuk melawan kekuasaan (Freire, 1973).
Perubahan dari kesadaran magis ke kesadaran naif adalah perubahan dari menyesuaikan diri dengan fakta-fakta kehidupan ke memperbaharui penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan individu-individu dalam sebuah sistem. Kontradiksi yang dihadapi individu naif terjadi antara sistem ideal yang seharusnya berjalan, dan pelanggaran terhadap sistem tersebut oleh orang-orang jahat dan bodoh. Jika mereka dapat “memperbaharui” perilakunya, maka sistem tersebut akan berjalan dengan baik.
Orang-orang yang berkesadaran naif ditandai dengan upaya mereka yang menyederhanakan masalah dengan cara menimpakan penyebabnya pada individu (aktornya), bukan sistem yang berlaku atasnya. Argumentasi mereka rapuh, tetapi penjelasannya sangat fantastis ketika menjelaskan bahwa individu terpisah dari sistem di mana mereka hidup dan pada puncaknya mengarah pada argumentasi yang larut dengan realitas.
Bagi pemikir naif, yang penting adalah akomodasi terhadap keadaan sekarang yang normal (Freire, 1968).
Pada tingkat ke tiga, yakni kesadaran kritis, isu yang muncul adalah perubahan sistem yang tidak adil, bukannya pembaharuan atau penghancuran individu-individu tertentu. Proses perubahan ini memiliki dua aspek, yakni (1) penegasan diri dan penolakan untuk menjadi “inang bagi benalu”, dan (2) berusaha secara sadar dan empiris untuk mengganti sistem yang menindas dengan sistem yang adil dan bisa mereka kuasai. Tidak seperti dengan kesadaran naif, orang-orang yang berkesadaran kritis ini tidak pernah menyalahkan individu-individu. Mereka justru menunjukkan pemahaman yang benar atas dirinya sendiri dan sistem yang memaksa si tertindas dan si penindas untuk berkolusi.
Kesadaran kritis ditandai dengan penafsiran yang mendalam atas berbagai masalah; digantikannya penjelasan magis dengan penjelasan kausalitas; dengan mencoba penemuan-penemuan yang dihasilkan seseorang; dan dengan keterbukaan untuk melakukan revisi; dengan usaha untuk menghindari distorsi ketika memahami masalah dan menghindari konsep-konsep yang telah diterima sebelumnya ketika menganalisis masalah; menolak untuk mengubah tanggung jawab; menolak sikap pasif; mengemukakan pendapat; mengedepankan dialog daripada polemik; serta menerima pandangan baru bukan karena kebaruannya dan tidak menolak pandangan kuno hanya karena sifat kekunoannya—yakni dengan menerima apa yang benar menurut pandangan kuno dan baru (Freire, 1973).
Yang terakhir adalah kesadaran fanatik. Kesadaran ini sebenarnya tidak termasuk ke dalam tiga fase perkembangan kesadaran (conscientizacao), melainkan merupakan distorsi yang oleh Freire diletakkan di antara kesadaran naif dan kesadaran kritis.
Ada sebuah hubungan potensial yang erat antara kesadaran naif dan fanatik (masifikasi). Jika seseorang tidak bergerak dari kesadaran naif menuju kesadaran kritis, tetapi malah terjatuh ke dalam kesadaran fanatik, maka dia akan menjadi lebih jauh dari realitas dibandingkan ketika berada dalam kesadaran magis (Freire, 1968).
Yang menjadi penekanan utama dalam kesadaran fanatik adalah masifikasi. Bukan transformasi kehidupan yang menindas menjadi kehidupan yang membebaskan, tetapi pertukaran sebuah keadaan yang menindas dengan keadaan menindas lainnya. Melalui masifikasi, kaum tertindas menjadi alat, dimanipulasi oleh sekelompok kecil pemimpin karismatik.
Orang-orang tetap saja tunduk dan dikuasai meskipun mereka mengetahuinya; mereka takut akan kebebasan, kendati mereka percaya dirinya harus bebas. Mereka mengikuti peraturan dan preskripsi umum seolah-olah menjadi pilihannya sendiri. Mereka diarahkan, tidak mengarahkan diri sendiri (Freire, 1968). Hematnya, dalam model kesadaran magis, cara berpikir orang-orang sangat-lah tidak logis. Dalam kesadaran naif, mereka hanya mampu menyalahkan diri sendiri (individu). Dan dalam kesadaran kritis, mereka sudah mampu melihat jauh faktor-faktor apa saja yang ikut terlibat di dalam proses kebudayaan. Sedangkan dalam kesadaran fanatik, distorsi nalar membuat mereka jadi irasional.
Demikianlah Freire menjelaskan kondisi atau model-model dari kesadaran manusia dalam kerangka berpikir yang sangat filosofis: mencerahkan dan membebaskan lagi humanis. Paling tidak bacaan ini mampu memberi kita rujukan ketika menyoal mengapa manusia berpikir ini dan itu atau bertindak itu dan ini, bahkan juga dalam menilai. Selamat berpikir!
Sumber:
- Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas (LP3ES, 2000) dan Pedagogi Pengharapan (Kanisius, 2005). - Wiliiam A. Smith, Conscientizacao: Tujuan Pendidikan Paulo Freire (Pustaka Pelajar, 2008).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendidikan PraKolonial

Di era sekarang ini banyak sekali anak muda yang kurang wawasan, kurang pengetahuan, sebenarnya mereka tau apa sih, ketika di tanya pendidikan prakolonial itu apa sih? Si Racap aja gak tau hadehhh, biar kita banyak tau mari kita membaca artikel yang satu ini, ingat ya makin banyak tau makin banyak deh wawasannya... Pengertian Pendidikan Prakolonial    Pendidikan Prakolonial di mengerti sebagai sebuah penyelenggaraan pendidikan yang di batasi oleh ruang waktu tertentu. Pembatasan ruang mengacu pada batas-batas politik yang terdapat di geografis tertentu sedangkan batasan waktu mengacu pada sebuah masa ketika praktik penjajahan belum dimulai. Geografis itu merujuk pada wilayah Nusantara sedangkan masa yang di maksud mengacu pada abad ke -17, yakni sebelum jan Peterson Coen melemparkan jangkar di pantai sunda kelapa.    Pada abad ini akan dibahas tentang semangat pendisikan pada masa pra-kolonial dan sisa-sisanya pada masa sekarang. Masyarakat prakolonial memiliki model pemerinntahan

Mahzab Fenomenologi Max Weber

Fenomenologi       Fenomenologi adalah satu aliran filsafat modern yang sangat berpengaruh. Salah satu tokoh utamanya adalah Edmund Husserl (1859-1935) dari Jerman. Pada prinsipnya metode fenomenologi yang dibangun oleh Husserl ingin mencapai “hakikat segala sesuatu”. Maksudnya agar mencapai “pengertian yang sebenarnya” atau “hal yang sebenarnya” yang menerobos semua gejala yang tampak. Usaha untuk mencapai hakikat segala sesuatu adalah reduksi atau penyaringan. Husserl mengemukakan tiga macam reduksi berikut ini :    1. Reduksi fenomenologis, kita harus menyaring pengalaman-pengalaman kita, dengan maksud supaya mendapatkan fenomena dalam wujud yang semurni-murninya 2. Reduksi eidetis, penyaringan atau penetapan dalam tanda kurung segala hal yang bukan eidus atau inti sari atau hakekat gejala atau fenomena. Jadi hasil reduksi kedua ialah “penilikan hakikat”. Inilah pengertian yang sejati.    3. Reduksi transendental, yang harus ditempatkan diantara tanda kurung dahulu ialah eksiste

Perbedaan Filsafat Barat dan Timur

Perbedaan Antara Filsafat Barat dan Filsafat Timur  I. Filsafat Barat 1. Filsafat Barat adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. 2. Filsafat berkembang dari tradisi falsafi orang Yunani kuno. 3. Tokoh utama filsafat Barat  antara lain Plato, Thomas Aquinas, Réne Descartes, Immanuel Kant, Georg Hegel, Arthur Schopenhauer, Karl Heinrich Marx, Friedrich Nietzsche, dan Jean-Paul Sartre. 4. Terdapat pembidangan dalam filsafat yang menyangkut tema tertentu. a. Ontologi membahas tentang masalah "keberadaan" (eksistensi) sesuatu yang dapat dilihat dan dibedakan secara empiris, misalnya tentang keberadaan alam semesta, makhluk hidup, atau tata surya. b. Epistemologi mengkaji tentang pengetahuan (episteme secara harafiah berarti “pengetahuan”). Epistemologi membahas berbagai hal tentang pengetahuan seperti batas, sumber, serta kebenaran suatu pengetahuan. Dari epistemologi inilah lahir berba