Langsung ke konten utama

Jean Paul Sartre

Jean-Paul Sartre lahir di Paris pada tanggal 21 Juni 1905. Ayahnya perwira angkatan laut Prancis dan ibunya, Anne Marie Schweitzer, anak bungsu dan satu-satunya anak perempuan dari Charles Schweitzer, seorang guru bahasa dan sastra Jerman di daerah Alsace. Ayahnya meninggal sesudah dua tahun kelahiran Jean-Paul dan ibu bersama anaknya pulang ke rumah ayahnya, Charles Schweitzer, di Meudon. Sesudah empat tahun mereka berpindah ke Paris (Bertens, 2001:81). Saat diasuh oleh kakeknya, Charles Schweitzer sangat menyayangi cucunya, dan menjaganya tetap di rumah serta memberikan pendidikan sendiri sampai berusia sepuluh tahun. Masa pengurungan ini menguntungkan Sartre karena dapat mengasah daya nalarnya melalui buku-buku studi kakeknya (Munir, 2008 :104)Di Paris, Sartre menemukan keajaiban bibliothek kakeknya. Di sana, ia hidup karena merasa menjadi pusat perhatian dan pujaan keluarga. Dengan rambut pirangnya yang panjang dan bergelung-gelung, Sartre kecil dengan cepat menyadari sisi tampan dari dirinya. Sampai suatu hari, sang kakek membawa Sartre ke tukang cukur. Dalam Les Mots Sartre menuliskan peristiwa tersebut tanpa eufimisme : ‘Saat diambil dari ibunya dia masih menakjubkan, tetapi saat dikembalikan kepadanya ia menjadi seekor kodok. Itulah Sartre menemukan dirinya ‘Jelek’. Bukan hanya karena matanya juling, tetapi juga karena rupa serta perawakanya membuatnya mirip ‘kodok’. Penemuan dini ini sangat penting bila dikaitkan dengan dua konsep filsaft Sartre yaitu L’autre dan Le regard (Wibowo, 2011 :25).            Ketika berusia 17 tahun, Jean-Paul menerima gelar ‘baccalaureate’ (gelar diploma sekolah menengah yang elit) dan ia memulai studi selam 6 tahun di Sorbonne untuk mendapatkan aggregation, ujian yang akan memberinya jalan untuk memasuki karier akademis dalam bidang filsafat. Namun pada tahun 1928 ia gagal dalam aggregation dan mendapatkan peringkat paling akhir di kelasnya (Palmer, 2007:6). Tetapi setahun kemudia Sartre berhasil mendaptkan rangking pertama dalam ujian aggregation-nya, di sini jugalah dia bertemu partner seumur hidupnya, Simone de Beauvoir.


            Pada masa perang dunia, Sartre bergabung dengan militer Prancis (1939) sebagai seorang meteorologis. Ia ditangkap tentara Jerman di Padoux dan dipenjara selama 9 bulan. Selama menjadi tahanan perang, Sartre berpindah-pindah dari Padoux kemudian ke Nancy, dan terakhir ke Stallag, Treves. Di kota terakhir inilah dia menulis skenario teater pertamanya Bariona, Fills du tonnerre. April 1941, Sartre dibebaskan karena alasan kesehatan. Namun, masa menjadi tahanan itu memberikan makna mendalam bagi Sartre di sepanjang hidupnya. Setelah kembali ke Paris, Sartre bergabung dengan kelompok pergerakan dan menulis di berbagai majalah seperti Les Leteres Francaise dan Combat. Sartre pernah mendirikan review bulanan tentang Sastra dan politik, Les Temps Modernes, dan membaktikan diri sepenuhnya pada kegiatan menulis dan politik (Adian, 2010:69-70).             Tahun 1964, Sartre dianugerahi hadiah nobel untuk bidang sastra. Karena alasan politis ia menolak hadiah tersebut. Jean Paul Sartre meninggal tanggal 15 April 1980. Para dokter berusaha membujuk Simone de Beauvoir yang sangat terpukul oleh kematian Sartre untuk tidak berbaring di atas tubuh Sartre sepanjang malam. Meskipun status intelektualnya dipudarkan oleh kesuksesan Strukturalisme dan post-Strukturalisme, sebagai pribadi ia tetap sangat populer pada saat kematiannya. Jalan-jalan di kota Paris dipadati orang-orang yang menghormatinya dalam jalan menuju pemakaman (Palmer 2007: 17). Lebih dari lima puluh ribu orang hadir dalam iring-iringan dan pemakaman filsuf perancis ini.


B.     Eksistensialisme

            Sebelum melihat pemikiran Sartre secara lebih mendalam, kita harus mengetahui bagaimana Sartre memberikan dasar bagi sistem filsafat yang dibangunnya. Dasar itu adalah ; ‘eksistensi’. Manusia itu bereksistensi. Dasar yang diberikan Sartre untuk filsafatnya dinamakan eksistensialisme. Walaupun aliran ini sudah berkembang sejak zaman Soren Kiekergard, tetapi Sartre-lah yang memasukan nama Eksistensialisme ke dunia filsafat.
Secara umum ciri aliran eksistensialisme adalah sebagai berikut :    
a.    Eksistensialisme adalah pemberontakan dan protes terhadap rasionalisme dan masyarakat modern, khususnya terhadap idealisme Hegel.
b.   Eksistensialisme adalah suatu proses atas nama individualis terhadap konsep-konsep, filsafat akademis yang jauh dari kehidupan konkret.
c.    Eksistensialisme juga merupakan pemberontakan terhadap alam yang impersonal (tanpa kepribadian) dari zaman industri modern dan teknologi, serta gerakan massa. Masyarakat industri cenderung menundukkan orang seorang pada mesin.
d.   Eksistensialisme merupakan protes terhadap gerakan-gerakan totaliter, baik gerakan fasis, komunis, yang cenderung menghancurkan atau menenggelamkan perorangan di dalam kolektif atau massa.
e.    Eksistensialisme menekankan situasi manusia dan prospek (harapan) manusia di dunia.
f.    Eksistensialisme menenkankan keunikan dan kedudukan pertama eksistensi, pengalaman kesadaran yang dalam dan langsung. (Muntansyir:2001, 92)
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang memandang segala-galanya dengan berpangkalan pada eksistensi. Menurut asal kata eks berarti keluar dan sistensi berarti menempatkan, berdiri. Atau bisa dikatakan juga bahwa yang dimaksud dengan eksistensi adalah cara manusia berada di dunia ini. Cara itu hanya khusus bagi manusia, jadi yang bereksistensi itu hanya manusia. (Driyarkara, 2006a:1281-1282)

Sedangkan Menurut Sartre, seorang eksistensialis adalah orang yang percaya dan bertindak berdasarkan dalil, yang berlaku untuk semua umat manusia yaitu ‘eksistensi mendahului esensi’. Apa artinya? Sebelum itu marilah kita membahas pendapat ‘esensi mendahului eksistensi’. Esensi berarti hakikat dari suatu hal, definisi dari suatu hal, ide mengenai suatu hal, sifat dasar atau kodrat, fungsi, dan program. Artinya bahwa dalam benda buatan manusia esensi benar-benar mendahului eksistensi (Palmer, 2007:21).

Contohnya dapat kita lihat dari gunting. Gunting mempunyai ide di dalamnya, yaitu alat untuk menggunting sesuatu. Bila kita menemukan benda, dan itu dapat digunakan untuk menggunting sesuatu, kita dapat menyebutnya gunting. Karena manusia sebagai pembuat benda (gunting) sudah memberikan ide gunting dalam benda yang sekarang kita sebut dengan gunting. Tetapi hal ini tidak berlakuk untuk manusia. Karena tidak ada Tuhan yang menciptakan ide tentang manusia -setidaknya itulah yang dikatakan Sartre.

Bagi Sartre, manusia mengada dengan kesadaran sebagai dirinya sendiri. Dan sebagai demikian itu maka ia tidak bisa dipertukarkan. Dengan demikian pula maka adanya manusia berbeda dengan adanya hal-hal lain yang tanpa kesadaran tentang adanya sendiri. Dengan lain perkataan bagi manusia eksistensi adalah keterbukaan; berbeda dengan benda-benda yang lain dimana ada itu sekaligus esensi, maka bagi manusia eksistensi mendahului esensi.

Demikian Sartre menegaskan asas pertama dari ajarannya. Ini berarti pula bahwa bagi Sartre asas pertama sebagai dasar untuk memahami manusia haruslah mendekatinya sebagai subyektivitas. Manusia sebagai pencipta dirinya sendiri tidak akan selesai-selesai dengan ikhtiarnya itu. Sebagai eksistensi yang ditandai oleh keterbukaan menjelang masa depannya, maka manusia pun merencanakan segala sesuatu bagi dirinya sendiri.

Ini mengandung arti bahwa manusia bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, apapun jadinya eksistensinya, apapun makna yang hendak diberikan pada eksistensinya itu, tiada lain yang bertanggung jawab adalah dirinya sendiri. Sebab dalam membentuk dirinya sendiri itu, manusia mendapat kesempatan untuk tiap kali memilih apa yang baik dan apa yang kurang baik baginya. Setiap pilihan yang dijatuhkan terhadap alternatif-alternatif yang ditemuinya adalah pilihannya sendiri; ia tidak bisa mempersalahkan orang lain, tidak pula bisa menggantungkan keadaan pada Tuhan (Hassan,1976:103).

Dalam artian tertentu, definisi Sartre mengenai eksistensialisme hanya meradikalkan pandangan yang sangat umum di antara kebanyakan ahli ilmu sosial : bahwa tidak ada naluri yang menyebabkan tindakan-tindakan tertentu. Dengan begitu manusia tidak menyerupai kucing. Dalam hal ini perilaku yang benar-benar dihasilkan oleh naluri tidak ada pilihan. (Laba-laba penjebak pasti menenun jaring penjebak, dan burung berkicau pasti berkicau). Benar bahwa ada fungsi-fungsi dan reflek-reflek tubuh manusia yang bekerja dalam keharusan daripada dalam kebebasan, tetapi fungsi-fungsi tubuh manusia yang seperti itu tidak pernah menghasilkan tindakan-tindakan manusia sesungguhnya, sebagai contoh adalah perbedaan mengedipkan mata (tindakan manusia) dan berkedip (bukan tindakan manusia sesungguhnya) (Palmer, 2007: 26).
Sumber :
Adian, Donny Gahral, 2010, Pengantar Fenomenologi, Depok : Koekoesan
Bertens, K, 2001, Filsafat Barat Kontemporer: Prancis, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

 Driyarkara, Nicolas, 2006a, Eksistensialisme, dalam Sudiarja dkk, Karya Lengkap Driyarkara, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama

Munir, Misnal, 2008, Aliran-Aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer, Yogyakarta : Lima
Muntasyir, Rizal, & Misnal Munir, 2001, Filsafat Ilmu, Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Palmer, D, Donald, 2007, Sartre untuk Pemula, Yogyakarta : Kanisius
Wibowo, A. Setyo, 2011, Eksistensi Kontingen, dalam R. Sani Wibowo, B.C Triyudo, Benny Beatus, dkk (Ed), Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre, Yogyakarta : Kanisius

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendidikan PraKolonial

Di era sekarang ini banyak sekali anak muda yang kurang wawasan, kurang pengetahuan, sebenarnya mereka tau apa sih, ketika di tanya pendidikan prakolonial itu apa sih? Si Racap aja gak tau hadehhh, biar kita banyak tau mari kita membaca artikel yang satu ini, ingat ya makin banyak tau makin banyak deh wawasannya... Pengertian Pendidikan Prakolonial    Pendidikan Prakolonial di mengerti sebagai sebuah penyelenggaraan pendidikan yang di batasi oleh ruang waktu tertentu. Pembatasan ruang mengacu pada batas-batas politik yang terdapat di geografis tertentu sedangkan batasan waktu mengacu pada sebuah masa ketika praktik penjajahan belum dimulai. Geografis itu merujuk pada wilayah Nusantara sedangkan masa yang di maksud mengacu pada abad ke -17, yakni sebelum jan Peterson Coen melemparkan jangkar di pantai sunda kelapa.    Pada abad ini akan dibahas tentang semangat pendisikan pada masa pra-kolonial dan sisa-sisanya pada masa sekarang. Masyarakat prakolonial memiliki model pemerinntahan

Mahzab Fenomenologi Max Weber

Fenomenologi       Fenomenologi adalah satu aliran filsafat modern yang sangat berpengaruh. Salah satu tokoh utamanya adalah Edmund Husserl (1859-1935) dari Jerman. Pada prinsipnya metode fenomenologi yang dibangun oleh Husserl ingin mencapai “hakikat segala sesuatu”. Maksudnya agar mencapai “pengertian yang sebenarnya” atau “hal yang sebenarnya” yang menerobos semua gejala yang tampak. Usaha untuk mencapai hakikat segala sesuatu adalah reduksi atau penyaringan. Husserl mengemukakan tiga macam reduksi berikut ini :    1. Reduksi fenomenologis, kita harus menyaring pengalaman-pengalaman kita, dengan maksud supaya mendapatkan fenomena dalam wujud yang semurni-murninya 2. Reduksi eidetis, penyaringan atau penetapan dalam tanda kurung segala hal yang bukan eidus atau inti sari atau hakekat gejala atau fenomena. Jadi hasil reduksi kedua ialah “penilikan hakikat”. Inilah pengertian yang sejati.    3. Reduksi transendental, yang harus ditempatkan diantara tanda kurung dahulu ialah eksiste

Perbedaan Filsafat Barat dan Timur

Perbedaan Antara Filsafat Barat dan Filsafat Timur  I. Filsafat Barat 1. Filsafat Barat adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. 2. Filsafat berkembang dari tradisi falsafi orang Yunani kuno. 3. Tokoh utama filsafat Barat  antara lain Plato, Thomas Aquinas, RĂ©ne Descartes, Immanuel Kant, Georg Hegel, Arthur Schopenhauer, Karl Heinrich Marx, Friedrich Nietzsche, dan Jean-Paul Sartre. 4. Terdapat pembidangan dalam filsafat yang menyangkut tema tertentu. a. Ontologi membahas tentang masalah "keberadaan" (eksistensi) sesuatu yang dapat dilihat dan dibedakan secara empiris, misalnya tentang keberadaan alam semesta, makhluk hidup, atau tata surya. b. Epistemologi mengkaji tentang pengetahuan (episteme secara harafiah berarti “pengetahuan”). Epistemologi membahas berbagai hal tentang pengetahuan seperti batas, sumber, serta kebenaran suatu pengetahuan. Dari epistemologi inilah lahir berba