Langsung ke konten utama

Membaca Sejarah & Krisis Kebudayaan Masa Kini: Upaya Menemukan Kembali Kebudayaan & Jati Diri Bangsa

 Berbicara soal kebudayaan, tentu mencakup segala aspek kehidupan dalam berbangsa dan bernegara. Hal ini berhubungan erat dengan identitas dan jati diri suatu bangsa yang bertujuan mengangkat martabat manusia, bukan hanya pada kesejahteraan ekonomi, tapi juga membawa manusia pada hal transenden. Kebudayaan membimbing manusia untuk mengetahui kebaikan tertinggi, keindahan dan keluhuran. Namun, apa jadinya implementasi dan perdebatan teoritik mengenai kebudayaan yang terjebak dalam kecenderungannya yang pragmatis dan takluk atas kepentingan ekonomi global.
Kebudayaan pun menjadi hajat hidup manusia, namun tidak melulu bicara soal sandang pangan, dan papan. Maka jauh dari hal itu, kebudayaan harus meliputi pengertian bersama mengenai jati diri dan martabat bangsa. Hal ini dimungkinkan berlaku dalam sosial, ekonomi, politik, pendidikan maupun agama. Kebudayaan yang menjadi jati diri bangsa didasarkan pada keterikatan segala elemen mayarakat dengan tanah kelahiran, tradisi, dan bahasa yang dimilikinya.
Dengan mendasarkan landasan kebudayaan kepada hal di atas akan memungkinkan para pelaku budaya tidak terjebak pada sesuatu hal yang parsial dan serimonial saja. Karena kita tidak bisa memungkiri dengan apa yang sedang terjadi sekarang ini. Misal, di mana-mana dan di setiap tempat, kita dengan mudah melihat pertunjukan yang ditampilkan dan pementasan seni budaya, baik teater, musik, tari-tarian daerah, dengan dalih mempertahankan dan memperkenalkan kebudayaan. Namun, pementasan atas nama kebudayaan tersebut tidak diiringi dengan aspek kognitif.
Mementaskan dan mempertontonkan budaya yang seperti itu hanya mengarahkan kita pada suatu pertanyaan besar, yaitu hendak ke manakah arah kebudayaan kita? Apakah budaya hanya soal serimonial belaka, dangan harapan bahwa dengan melestarikan kebudayaan daerah akan mengasilkan uang? Pertanyaan ini muncul karena tontonan tidak mampu mengajak kita untuk menyelami masa lalu dan memetik nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Tontonan hanya sebatas hiburan dan meghasilkan uang. Kelihatannya, kebudayaan dan para pelaku yang terlibat di dalamnya tampak melakukan pergerakan, namun gerakan tersebut bukan sebuah strategi dan siasat kebudayaan utuk membimbing kita menuju masa depan, dan bukan untuk mengantarkan kita pada hal yang transenden, melainkan hanya gerak-gerik belaka yag hendak menghabiskan anggaran tahunan dari pemerintah. Dan perlu dipahami bahwa gerak-gerik tidak akan bisa melakukan perubahan besar, hanya kasak-kusuk dan mengambil proyek tahunan anggaran negara.
Jelas terlihat bahwa kebudayaan kita takluk pada kekuatan pasar dan memaknai kebudayaan sebagai komoditi yang laku di pasaran dan bisa menghasilkan uang. Dengan keadaan yang seperti itu, mustahil kita akan menemukan identitas diri sebagai bangsa, seperti yang dicita-citakan para pendiri bangsa ini.
Memang pada satu titik tertentu, kontestasi kebudayaan hendak bicara identitas nasional, bahkan sebagai pengejawantahan diri sebagai masyarakat yang merdeka. Namun di lain pihak, kebudayaan dan identitas nasional sekarang sedang mengalami kemerosototan dan gerak mundur seiring dengan kemunduran kesadaran atas sejarah dan kebudayaan itu sendiri. Sehingga bangsa ini pun kehilangan arah untuk menuju masa depan, dan dinamika kebudayaan diletakkan nasibnya pada nalar pasar, melakoni budaya dan eskpresi kesenian hanya sampai pada batas-batas yang sudah ditentukan oleh kepentingan pasar. Berbudaya bukan lagi sebagai proses perealisasian diri, tapi untuk ekonomi. Persoalannya bukan sekedar pasar yang bermotif ekonomi dan menghilangkan pasar bukan solusi yang baik. Yang lebih tragis adalah nalar pasar ini merambat ke segala sektor kehidupan masyarakat.
Tahap demi tahap dari perkembangan dalam menata kebudayaan kita, selalu mengalami pengasingan, pemiskinan, kemerosotan, dan pendangkalan. Baik defenisi, bobot maupun cakupannya dalam kehidupan masyarakat secara umum. Di situasi seperti inilah kita membutuhkan peta kebudayaan yang serius untuk memetakan langkah awal merajut kebudayaan agar tidak terjebak dalam gerak-gerik. Sebab krisis kebangsaan yang sedang melanda bersumber dari krisis kebudayaan. Dalam hal ini, segala elemen pemerintah dan masyarakat bertanggung jawab atas krisis kebudayaan.
Hari ini nyaris tidak ada suatu upaya untuk membongkar sumber krisis kebudayaan yang telah lama terjadi. Tidak ada langkah untuk membongkar kemunduran kesadaran atas kebudaaan dan kesadaran sejarah atas bangsa ini. Saat ini bangsa kita kehilangan peta untuk menuju masa depan. Hal ini sangat berbahaya ketika gerak mundur kesadaran atas kebudayaan dibiarkan begitu saja tanpa suatu upaya untuk mengatasinya. Di sinilah pemerintah harus bertanggung jawab untuk mempertahankan kebudayaan, bukan sekadar budaya sebagai tontonan dan serimonial. Jika hal ini terabaikan, lantas bagaimana kita memaknai suatu suatu konsep yang mengatakan bahwa manusia sebagai makhluk sejarah di mana di dalamnya sangat mementingkan peranan akal-budi untuk menyikapi realitas sebagai proses menga-ada dalam kebudayaan?
Konsepsi kebudayaan bangsa ini pernah menyalahi hukum-hukum sejarahnya sendiri. Maka dari itu menjadi penting untuk melihat kembali hukum-hukum sejarah dari proses berdirinya Indonesia sebagai negara. Singkat kata, bangsa ini harus menyelami masa lalu namun bukan untuk menyelamatkan masa lalu itu sendiri, tapi menyelami masa lalu untuk mengambil hal yang berguna untuk dijadikan patokan sebagai langkah awal untuk menuju masa depan dan menghadapi segala tantangannya.
Dengan begitu, kita bisa berharap untuk menyelamatkan “yang hilang” dari masa lalu dan menemukan kembali serpihan-serpihan masa lalu yang masih signifikan bagi kita saat ini. Keruntuhan teradisi di masa lalu kita tidak akan bisa menyelamatkan masa lalu secara keseluruhan. Oleh karenanya, tugas yang harus dikerjakan sekarang adalah menyelamatkan serpihan-serpihan masa lalu yang masih bisa mencerahkan masa kini.
Menyelami masa lalu bukan hanya melihat serpihan-serpihan kebudayaan secara kasat mata, tidak hanya bersifat natural dan kultural, melainkan juga penting diikut-sertakan peralihan struktural dari polemik tatanan dunia secara menyeluruh. Ruh kebudayaan bisa ditemukan dengan langkah yang seperti itu. Ruh kebudayaan merupakan harga mati dan memerlukan pengejawantahan martabat manusia yang berlandaskan hal ideal yang bersumber dari sejarah perjalanan bangsa ini, dan tidak hanya berhenti pada hal prosedural dan perundag-undangan. Karena kebudayaan bukan barang antik yang bisa ditransfer lewat kebijakan, melainkan hasil proses totalitas dalam berbangsa dan bernegara. Mengambil langkah untuk merajut masa depan harus berlandaskan atas kesadaran sejarah “diri bangsa ini.” Memantapkan kembali hubungan kehidupan kita hari ini dengan masa lalu, bukan berarti hendak membawa diri ke dalam nostalgia. Tapi tanpa memahami masa lalu secara kritis, maka kekinian kita akan kabur. Pengalaman dalam berbangsa dan bernegara kita akan menjadi sangat berbahaya dan identitas kita akan rapuh. Hanya dengan memahami kembali masa lalu secara kritis, tentu akan membawa kita pada makna-makna baru yang menjdi dasar munuju masa depan.
Krisis kebudayaan yang melanda kita saat ini merupakan pintu masuk untuk memahami masa lalu secara kritis, dengan pandangan yang jernih yang lebih segar dan tak terduga. Kita harus melihat masa lalu secara kritis yang selama ini telah disembunyikan oleh nalar pasar sebagai bentuk otoritas kebenaran dalam kebudayaan. Kebudayaan yang sengaja disembunyikan, disingkirkan, atau dipinggirkan secara sistemik. Dengan langkah ini, saya yakin kebudayaan bisa ditemukan kembali dan membangun identitas diri. Dan masa lalu bisa bermakna kembali dan mencerahkan masa sekarang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendidikan PraKolonial

Di era sekarang ini banyak sekali anak muda yang kurang wawasan, kurang pengetahuan, sebenarnya mereka tau apa sih, ketika di tanya pendidikan prakolonial itu apa sih? Si Racap aja gak tau hadehhh, biar kita banyak tau mari kita membaca artikel yang satu ini, ingat ya makin banyak tau makin banyak deh wawasannya... Pengertian Pendidikan Prakolonial    Pendidikan Prakolonial di mengerti sebagai sebuah penyelenggaraan pendidikan yang di batasi oleh ruang waktu tertentu. Pembatasan ruang mengacu pada batas-batas politik yang terdapat di geografis tertentu sedangkan batasan waktu mengacu pada sebuah masa ketika praktik penjajahan belum dimulai. Geografis itu merujuk pada wilayah Nusantara sedangkan masa yang di maksud mengacu pada abad ke -17, yakni sebelum jan Peterson Coen melemparkan jangkar di pantai sunda kelapa.    Pada abad ini akan dibahas tentang semangat pendisikan pada masa pra-kolonial dan sisa-sisanya pada masa sekarang. Masyarakat prakolonial memiliki model pemerinntahan

Mahzab Fenomenologi Max Weber

Fenomenologi       Fenomenologi adalah satu aliran filsafat modern yang sangat berpengaruh. Salah satu tokoh utamanya adalah Edmund Husserl (1859-1935) dari Jerman. Pada prinsipnya metode fenomenologi yang dibangun oleh Husserl ingin mencapai “hakikat segala sesuatu”. Maksudnya agar mencapai “pengertian yang sebenarnya” atau “hal yang sebenarnya” yang menerobos semua gejala yang tampak. Usaha untuk mencapai hakikat segala sesuatu adalah reduksi atau penyaringan. Husserl mengemukakan tiga macam reduksi berikut ini :    1. Reduksi fenomenologis, kita harus menyaring pengalaman-pengalaman kita, dengan maksud supaya mendapatkan fenomena dalam wujud yang semurni-murninya 2. Reduksi eidetis, penyaringan atau penetapan dalam tanda kurung segala hal yang bukan eidus atau inti sari atau hakekat gejala atau fenomena. Jadi hasil reduksi kedua ialah “penilikan hakikat”. Inilah pengertian yang sejati.    3. Reduksi transendental, yang harus ditempatkan diantara tanda kurung dahulu ialah eksiste

Perbedaan Filsafat Barat dan Timur

Perbedaan Antara Filsafat Barat dan Filsafat Timur  I. Filsafat Barat 1. Filsafat Barat adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. 2. Filsafat berkembang dari tradisi falsafi orang Yunani kuno. 3. Tokoh utama filsafat Barat  antara lain Plato, Thomas Aquinas, Réne Descartes, Immanuel Kant, Georg Hegel, Arthur Schopenhauer, Karl Heinrich Marx, Friedrich Nietzsche, dan Jean-Paul Sartre. 4. Terdapat pembidangan dalam filsafat yang menyangkut tema tertentu. a. Ontologi membahas tentang masalah "keberadaan" (eksistensi) sesuatu yang dapat dilihat dan dibedakan secara empiris, misalnya tentang keberadaan alam semesta, makhluk hidup, atau tata surya. b. Epistemologi mengkaji tentang pengetahuan (episteme secara harafiah berarti “pengetahuan”). Epistemologi membahas berbagai hal tentang pengetahuan seperti batas, sumber, serta kebenaran suatu pengetahuan. Dari epistemologi inilah lahir berba