Langsung ke konten utama

Mahzab Fenomenologi Max Weber

Fenomenologi 
    Fenomenologi adalah satu aliran filsafat modern yang sangat berpengaruh. Salah satu tokoh utamanya adalah Edmund Husserl (1859-1935) dari Jerman. Pada prinsipnya metode fenomenologi yang dibangun oleh Husserl ingin mencapai “hakikat segala sesuatu”. Maksudnya agar mencapai “pengertian yang sebenarnya” atau “hal yang sebenarnya” yang menerobos semua gejala yang tampak. Usaha untuk mencapai hakikat segala sesuatu adalah reduksi atau penyaringan. Husserl mengemukakan tiga macam reduksi berikut ini :
   1. Reduksi fenomenologis, kita harus menyaring pengalaman-pengalaman kita, dengan maksud supaya mendapatkan fenomena dalam wujud yang semurni-murninya
2. Reduksi eidetis, penyaringan atau penetapan dalam tanda kurung segala hal yang bukan eidus atau inti sari atau hakekat gejala atau fenomena. Jadi hasil reduksi kedua ialah “penilikan hakikat”. Inilah pengertian yang sejati.
   3. Reduksi transendental, yang harus ditempatkan diantara tanda kurung dahulu ialah eksistensi dan segala sesuatu yang tiada hubungan timbal balik dengan kesadaran murni, supaya dari objek itu akhirnya orang sampai kepada apa yang ada pada subjek itu sendiri.
Menurut Husserl, fenomenologi merupakan sebuah kajian tentang struktur kesadaran yang memungkinkan kesadaran-kesadaran tersebut menunjuk kepada objek-objek diluar dirinya. Dari sana Ia kemudian memunculkan istilah “reduksi fenomenologis.” Bahwa suatu pikiran bisa diarahkan kepada objek-objek yang non-eksis dan riil. 
Bidang studi feomenologi agama meliputi fakta religius yang bersifat subjektif seperti pikiran-pikiran, perasaan-perasaan, dan maksud-maksud dari seseorang, yang diungkapkan dalam tindakan-tindakan luar yang penuh arti. Fakta religius bersifat subjektif, artinya merupakan keadaan mental dari manusia religius, dalam caranya melihat hal-hal atau menginterpretasikannya. Fakta ini dan kaitan-kaitannya sekaligus bersifat objektif, bukan karena sebagai tindakan budi yang berpikir melainkan sebagai sesuatu yang kebenarannya dapat dibuktikan oleh para pengamat yang independen. 
Kontribusi Weber bagi Sosiologi Agama
Agama menjadi salah satu bentuk wacana yang selalu menarik untuk di perdebatkan. Di dalam perkembangan ilmu sosial sendiri, agama mempunyai tempat khusus yang tak pernah lepas jadi bahan kritikan para pemikir sosial. Sebagian pemikir sosial menganggap bahwa agama hanya menjadi salah satu tempat pelarian ketika rasionalitas manusia tidak mampu lagi untuk menafsirkan dunia. Seperti yang dikatakan oleh Karl Marx, bahwa “agama adalah candu”. Sebagain lagi memanggap bahwa orang yang beragama hanyalah orang-orang yang bodoh, karena pembenaran yang dilakukan terhadap dogma agama justru memperlihatkan ketidakmampuan manusia terhadap permasalahan dunia.
Namun pendapat tersebut mendapat sanggahan dari Max Weber. Di mana Max Weber mencoba memperlihatkan berbagai nilai-nilai dalam agama yang justru dapat mendukung kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia. Weber meletakkan Protestan asketis sebagai “suatu kontribusi terhadap pemahaman atas masalah-masalah umum di mana ide menjadi kekuatan efektif dalam sejarah”. Weber tampak sengaja ingin meletakkan “kekuatan ide” sebagai wacana tandingan atas doktrin materialisme sejarah Marx, yang melihat ekonomi sebagai faktor determinan dalam perubahan sejarah.

    Rasionalisasi Ajaran Agama
Kehidupan gereja menurut penelitian Max Weber sebelum peristiwa Reformasi abad XVI sebenarnya telah mengembangkan sikap “asketisme yang terarah ke luar-dunia” (other-worldly asceticism), yaitu kehidupan yang mengarah “ke sorga”. Sehingga orang-orang yang bekerja secara sekuler dianggap belum memiliki tingkat “rohani” yang mulia.
Pada riset selanjutnya, studi kasusnya di Gereja Calvin dalam hubungannya dengan kemunculan kapitalisme, Weber melihat secara teoritis bahwa sumber asketisme yang lahir dari kegelisahan terhadap doktrin takdir ganda dalam Gereja Calvinis di kalangan orang-orang Protestan mendorong etos kerja duniawi yang kuat. Karena itu orang dapat memperoleh keselamatan atau celaka dari Tuhan tergantung dari kasih Tuhan yang diwujudkan tidak dalam bentuk doa atau sakramen gereja, melainkan etos kerja individu itu sendiri di dunia yang “seolah-olah” ia memperoleh keselamatan dengan penguatan karakter moral (asketisme) yang ditunjukkan dari aktivitas keduniaan ini. Jadi asketisme individu (keshalehan) inilah yang mendorong tindakan sosialnya (kerja keras) untuk memperoleh kasih sayang Tuhan (keselamatan) di dunia dan akhirat, sehingga menghasilkan suatu kekuatan dan dampak dari kapitalisme. 

     Perlu diketahui bahwa tidak ada etika ekonomi yang semata-mata ditentukan oleh agama. Etika kerja dalam protestan yang didominasi oleh agama menjadikan pengaruh yang besar terhadap dunia ekonomi. Dalam etika, kekayaan tidak bersifat baik jika hal itu merupakan sebuah dorongan dalam suatu godaan menjadi sikap yang penuh dengan kemalasan dan kenikmatan duniawi yang penuh dengan dosa. Pemeluk protestan mengamalkan nilai-nilai pemikiran calvinis dan asketis dalam kehidupan ekonominya sehari-hari. Dorongannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya adalah bersifat manusiawi, akan tetapi yang menentukan tingkat kemakmuran yang dicapai seseorang lebih ditentukan oleh sikap dan perilaku orang tersebut dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Perilaku dalam aktivitas ekonominya di Eropa sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya yang telah mengakar kuat yakni etika protestan. Sehingga agama berjasa besar atas perkembangan dan pengaruh kapitalisme di Eropa.
Salah satu elemen-elemen fundamental dari semangat kapitalisme adalah perilaku rasional yang didasarkan kepada panggilan-panggilan Tuhan yang terlahir dari askese Kristen. Weber mendeskripsikan bahwa dunia dan isinya adalah pemberian Tuhan yang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin. Kerja dianggap sebagai panggilan Tuhan yang bersifat mutlak, suci dengan memanfaatkan dunia tersebut dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan yang telah menciptakan dunia dan isinya. 
Oleh karena itu membuang-buang waktu merupakan dosa pertama dan sangat mematikan. Jika penganut protestan tidak mau bekerja atau malas bekerja maka sebenarnya menjadi dosa tersendiri bagi pengikut protestan menolak Tuhan dalam kehidupannya. Ketakutan akan dosa yang berdampingan dengan kepentingan produktifitas inilah yang menjadi nilai dasar dan fundamental dari etika protestan. 

    Dengan kata lain, ketaatan trandensial penganut protestan dapat diukur dari gairah dan etos kerja yang dimilikinya. Semakin banyak harta yang dimiliki, maka semakin tebal keimanannya pada Tuhan. Begitu juga sebaliknya semakin sedikit harta yang dimiliki, maka dapat ditegaskan bahwa keimanannya pada Tuhan juga rendah. Logika inilah yang menjadi asumsi sekaligus membawa korelasi positif antara ketaatan dan kemampuan ekonomis yang dimiliki oleh protestanisme.
Weber juga menambahkan bahwa kapitalisme di Eropa dapat berkembang karena nilai-nilai asketis dalam doktrin protestan. Doktrin-doktrin ini didominasi oleh khotbah-khotbah keagamaan yang sangat berapi-api tentang bagaimana konsep kerja yang baik. Khotbah-khotbah itu berisikan bahwa seseorang tidak berhak mendapatkan makan apabila mereka tidak bekerja. Bekerja merupakan panggilan Tuhan yang harus dan wajib dilaksanakan. Oleh karena itu bekerja merupakan asketis yang disetujui untuk memuliakan Tuhan. Pemikiran untuk tidak cepat puas dengan keberhasilan yang telah dicapai adalah asumsi dasar dari pemikiran ini. Dalam bukunya yang berjudul “Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme” Max Weber mencoba menunjukan relevansi antara etika protestan dengan nilai-nilai kapitalisme. 
Etika Ajaran Agama dan Asketisme (Calvinisme dan Kapitalisme)
Tesis terkenal Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism pada intinya membicarakan tentang etika dari suatu keyakinan religius dan semangat dari sebuah sistem ekonomi dan terbangunnya hubungan antara jiwa dengan keseimbangan neraca. Dalam konteks ini, kata “kapitalisme” atau “semangat kapitalisme”  digunakan dalam pengertian yang sangat partikular, yaitu mengenai struktur yang mengatur sikap masyarakat Barat, bukan hanya ekonominya, tetapi juga sistem hukumnya, struktur politik, ilmu dan teknologi yang terinstitusionalisasi dan seni. 

    Struktur yang mengatur masyarakat Barat Weber disebut sebagai rasionalitas. Rasionalitas ini merembes ke semua bidang perilaku sosial, organisasi buruh dan manajemen serta ilmu-ilmu kreatif, hukum dan ketertiban, filsafat dan seni, negara dan politik, dan bentuk-bentuk dominan kehidupan privat. Rasionalitas ini didorong oleh perlawanan terhadap fitrah manusia yang cenderung kepada pra-rasional dan magis. Akhirnya, dengan perlawanan ini, motif-motif dibalik perilaku manusia–imaji, pemujaan, magis dan tradisi direformasi melalui jantung keyakinan agama.
Weber memakai konsep rasionalisasi dalam beragam makna dan cakupan. Di sini rasionalisasi dipakai untuk merujuk dua tipe, yakni rasionalisasi doktrin dan perilaku hidup. Dua tipe ini dipakai Weber untuk menjelaskan Protestan Asketis, terutama Calvinis. Para Calvinis merasionalisasikan doktrinnya untuk mengatasi problem makna mendasar, yakni akankah mereka diselamatkan ke surga.

    Rasionalisasi doktrin Calvinisme dapat dilihat pada upaya menghilangkan unsur magis dari dunia modern. Calvinis menunjukkan sikap anti-magis dengan memilih kalkulasi rasional dalam hidup. Tuhan Calvinis menetapkan predestinasi ganda pada setiap orang, yakni sebagai yang terpilih atau terkutuk. Para Calvinis mulai meyakinkan diri bahwa mereka termasuk di antara orang-orang terpilih yang diselamatkan ke surga.
Menurut Weber, pada prinsipnya seseorang dapat menguasai segala sesuatu melalui kalkulasi rasional. Inilah yang oleh Weber disebut demagifikasi atau demistifikasi dunia. Hilangnya elemen magis yang berpuncak pada doktrin dan perilaku Calvinis ditandai secara teoretis dengan tidak adanya sistem Imamat, berkurangnya sakramen secara drastis, dan hilangnya sistem perantara yang memediasi hubungan Calvinis dan Tuhan.
Inilah yang dimaksud Reformasi oleh Weber, kesimpulan yang dengannya dihubungkan teori ekonomi dan doktrin agama, yang mana tesisnya dikembangkan dari pemahamannya tentang “Protestanisme”, khususnya dari “Calvinisme”. Protestan, dalam ragam Calvinisnya menganggap bahwa perilaku orang yang beriman sebagai individu tidak bisa dikenai sanksi oleh otoritas spriritual eksternal, tapi hanya dikenai sanksi-batin dari hati nuraninya sendiri. Perilaku kaum “Protestan” ini termanifestasikan dalam signifikansi religius kerja dalam sebuah panggilan (calling). Atau dengan kata lain, agama dipandang sebagai sebuah orientasi ideologis yang cenderung mengarahkan seseorang pada peran kerja/wirausaha, di mana kemudian mereka memberikan sumbangan pada pertumbuhan ekonomi.

     Titik tolak Weber dalam mengemukakan tesisnya adalah sebuah survey statistik yang dilakukan pada 1900 oleh sosiolog Jerman Max Offenbacher, tentang “kondisi ekonomi umat Katolik dan Protestan” di Grand Duchy of Baden yang dari segi agama merupakan campuran (60 persen pemeluk Katolik).  Offenbacher menemukan bahwa warga negara Protestan Grand Duchy memiliki persentase aset modal yang sangat besar dan menduduki jabatan-jabatan pimpinan, kualifikasi pendidikan, posisi akademis, dan pekerjaan-pekerjaan yang menuntut keterampilan. 
Dalam usahanya untuk menyusun suatu studi yang menyeluruh tentang hubungan agama dengan struktur dinamika masyarakat, Weber mengadakan penelitian secara mendalam tentang agama-agama besar di dunia, tetapi ia sama sekali tidak sempat membuat studi yang mendalam tentang Islam. 

Tidak sepenuhnya Weber sanggup melepaskan diri dari etnosentrisme Eropanya. Khususnnya terhadap Islam dan agama-agama di Asia yang lain tampak sangat terbatas kemungkinan untuk menerapkan pendekatan verstehen terhadap sesuatu yang asing. Tapi usahanya ini telah banyak membantu persoalan dalam berbagai realitas social. Studi agama Weber tidak laim hanyalah meneliti satu emansipasi dari pengaruh magi, yaitu pembebasan dari pesona. Hal ini menjadi sebuah kesimpulan yang dianggapnya sebagai aspek pembeda yang sangat penting dari budaya yang ada di barat. 

Kesimpulan
Weber cukup jelas ketika membicarakan tentang isu keragaman kausalitas dalam studinya tentang hubungan antara protestanisme dengan semangat kapitalisme. Weber sebenarnya hanya ingin menyatakan bahwa etika Protestan bukan satu-satunya faktor yang melahirkan semangat kapitalisme, melainkan hanya salah satu dari faktor kausal munculnya semangat kapitalisme modern. Ia menganggap lugu gagasan yang mengatakan protestanisme adalah satu-satunya sebab tunggal. Sama lugunya menurut Weber, menganggap kapitalisme hanya dapat lahir sebagai akibat dari reformasi protestan.
Menurut Weber, seharusnya kapitalisme tidak hanya mementingkan harta dan kekayaan saja dalam mencapai suatu kebahagiaan, karena tidak selamanya kebahagiaan ditentukan secara material dari kekayaan yang dimiliki seseorang. Walaupun sebenarnya dalam konteks spirit kapitalisme yang dimiliki protestan sangat wajar. Pengumpulan dan penumpukan harta sebanyak-banyaknya bukanlah sesuatu yang dilarang oleh agama, akan tetapi hal yang terpenting adalah bagaimana suatu keselamatan mampu didapat dengan pengumpulan kekayaan tersebut. Artinya dari besar dan banyaknya kekayaan adalah untuk kebahagiaan bathin dari pemiliknya, bukan malah sebaliknya yaitu kekayaan itu sendiri.
Yang menjadi landasan dasar dalam etos kerja adalah bagaimana untuk mengatasi berbagai kecemasan. Rasa takut, cemas, gundah, risau dan galau jika tetap berpangku tangan terhadap orang lain. Maka pada dasarnya berarti mereka telah melanggar perintah tersebut.  Inti dari hasil ahirnya adalah mencapai keberhasilan untuk melaksanakan perintah Tuhan dan bagaimana keberhasilan mencapai sesuatu dengan mereduksi atau menghilangkan kegelisahan bathin yang terjadi pada diri mereka sendiri. Jadi perlu ditekankan yang menjadi orientasi utama dari bekerja keras bukanlah kekayaan, melainkan kebahagiaan dalam pencapaian bathinlah yang menjadi orientasi pokok. Karena kembali pada tujuan awalnya yaitu kebahagiaan batin.

Daftar Pustaka
Ahmad Norma Permata (ed), Metodologi Studi Agama , Kumpulan Tulisan,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 13.
Clark Moustakas, Phenomenological Research Methods, (London: Sage Publication, 1994), 26.
Dennis Wrong, Ed., Max Weber, Sebuah Khazanah, (Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2003), h. 193
Douglas Allen, Phenomenology of Relegion, dalam The Routledge Companion to the Study of religion, (London and New York: Routledge, 2005), 189.
Husein, machnun, Sosiologi Agama, Prenada Media, 2004
Taufik Abdullah, Tesis Weber Dan Islam Di Indonesia, Rajawali Pres Jogjakarta, Hlm: 19
Weber, Max, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, (Surabaya: Pustaka Promethea, 2000).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendidikan PraKolonial

Di era sekarang ini banyak sekali anak muda yang kurang wawasan, kurang pengetahuan, sebenarnya mereka tau apa sih, ketika di tanya pendidikan prakolonial itu apa sih? Si Racap aja gak tau hadehhh, biar kita banyak tau mari kita membaca artikel yang satu ini, ingat ya makin banyak tau makin banyak deh wawasannya... Pengertian Pendidikan Prakolonial    Pendidikan Prakolonial di mengerti sebagai sebuah penyelenggaraan pendidikan yang di batasi oleh ruang waktu tertentu. Pembatasan ruang mengacu pada batas-batas politik yang terdapat di geografis tertentu sedangkan batasan waktu mengacu pada sebuah masa ketika praktik penjajahan belum dimulai. Geografis itu merujuk pada wilayah Nusantara sedangkan masa yang di maksud mengacu pada abad ke -17, yakni sebelum jan Peterson Coen melemparkan jangkar di pantai sunda kelapa.    Pada abad ini akan dibahas tentang semangat pendisikan pada masa pra-kolonial dan sisa-sisanya pada masa sekarang. Masyarakat prakolonial memiliki model pemerinntahan

Perbedaan Filsafat Barat dan Timur

Perbedaan Antara Filsafat Barat dan Filsafat Timur  I. Filsafat Barat 1. Filsafat Barat adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. 2. Filsafat berkembang dari tradisi falsafi orang Yunani kuno. 3. Tokoh utama filsafat Barat  antara lain Plato, Thomas Aquinas, Réne Descartes, Immanuel Kant, Georg Hegel, Arthur Schopenhauer, Karl Heinrich Marx, Friedrich Nietzsche, dan Jean-Paul Sartre. 4. Terdapat pembidangan dalam filsafat yang menyangkut tema tertentu. a. Ontologi membahas tentang masalah "keberadaan" (eksistensi) sesuatu yang dapat dilihat dan dibedakan secara empiris, misalnya tentang keberadaan alam semesta, makhluk hidup, atau tata surya. b. Epistemologi mengkaji tentang pengetahuan (episteme secara harafiah berarti “pengetahuan”). Epistemologi membahas berbagai hal tentang pengetahuan seperti batas, sumber, serta kebenaran suatu pengetahuan. Dari epistemologi inilah lahir berba